Sebagaimana
telah disampaikan pada catatan sebelumnya, bagaimana pesantren memiliki peran
dalam membekali santri dengan life skill yang harus mereka miliki dan menjadi
bekal dalam fase kehidupannya di masa datang.
Pesantren
hari ini sudah tidak seperti model pesantren zaman dulu, pesantren zaman dulu,
tanpa di program sekalipun telah memiliki ciri khusus dalam membekali santri
dengan kemandirian dan belajar “prihatin”.
Dalam
hal kemandirian, pesantren zaman dulu, para santri harus pandai mengatur waktu
antara belajar, memasak, mencuci dan serangkaian kegiatan yang lain. Berbeda
dengan zaman sekarang, para santri tidak perlu repot memasak, bahkan ada
pesantren yang memberikan fasilitas laundry, sehingga mereka hanya fokus
belajar.
Fenomena
yang ada tersebut diatas, menjadi tantangan bagi pesantren bagaimana kedepannya
memiliki program life skill bagi santrinya, yang berbasis fitrah dan fase usia
mereka tentunya. Pesantren sebagai darul hayah, berperan penting dalam
membentuk pribadi laki-laki sesuai fitrahnya dan juga perempuan sebagai
perempuan.
Santri
laki-laki dibekali dengan kemampuan leadership dan problem solving, dimulai
dari hal yang sederhana, misal ; jika ada kerusakan di pondok, bukan sepenuhnya
tugas bagi sarpras yang menjalankan, tapi santri ikut andil didalamnya dengan
pendampingan dari musyrif. Pondok menjadi ruang tempa dan membangun mentalitas,
dan diperlukan “Raja Tega” dalam mengimplematasikan. Definisi melayani dan
service excelent sepertinya perlu dikaji ulang dan diperjelas batasannya.
Begitupun
juga santriwati, meskipun pesantren sudah menyiapkan makanan untuk mereka,
setidaknya ada program untuk mereka seperti cooking day, bisnis day dan
lainnya. Oleh karena itu, perlunya pesantren memfasilitasi life skill yang
harus diterima santri, baik yang terprogram atau implementasi langsung kedalam
keseharian.
Idealnya,
1 bulan pertama, santri pondok dilakukan matrikulasi pendidikan life skill yang
harus mereka miliki selama tinggal di pondok, misalnya tau dan dapat mencuci
dengan baik, menjemur, menyetrika, membersihakan dan merapikan tempat tidur dan
kamar.
Ketika
pesantren mempunyai dan membuka ruang life skill bagi santri, mereka akan fokus
kepada “mainannya” sendiri. Mereka punya jalan menyalurkan energi dan
emosinya,. Ketika pesantren sudah membuat sekian aturan, berikan santri ruang
ekspresi sebagai kompensasi dengan membuka ruang life skill yang sesuai dengan
visi misi pondok yang dimiliki. Misal ruang life skill sains, seni, literasi,
cukur rambut. keberadaan ruang life skil dapat diatur dalam mini organiasi atau
club dan disusun pengurusnya, sedangkan musyrif hanya melakukan pengawasan.
Adanya
pelanggaran dalam pesantren diantaranya berawal dari kejenuhan santri yang
memuncak dan energi serta potensi yang tidak tersalurkan dengan baik.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar