Pentingnya dunia kepengasuhan dalam pesantren - Jejak Inspirasi Transformasi

Catatan Pribadi Berbagi Inspirasi Untuk Bertransformasi Menjadi Pribadi Lebih Baik ------------------------------------------------------------------------------------------

Terbaru

Minggu, 05 Mei 2024

Pentingnya dunia kepengasuhan dalam pesantren

 



Pola asuh membentuk identitas santri, jika santri kelas XII aliyah ( setelah mondok 6 tahun, dan dengan usia yang sudah dewasa ) dan mereka masih dibangunkan ketika shubuh maka ada yang perlu dievaluasi dalam hal kepengasuhan.

Tugas utama dan akhir musyrif bukan membangunkan tapi bagaimana membuat dan membimbing santri mampu bangun sendiri seiring berjalannya waktu.

Santri ibarat sebutir telur yang akan dapat “menetas” jika memang “dierami” dalam hal ini dengan cara mereka dibersamai secara fisik dan jiwa (hati) oleh musyrif sebagai induknya.

Dalam dunia pengasuhan, tidak dapat dipungkiri terkait kompleksitas permasalahan yang dihadapi oleh musyrif. Terlebih apabila permasalahan makin rumit, intake input santri rendah dan daya dukung fasilitas minim tentu akan menambah pusing bagi diri musyrif.

Kepengasuhan adalah pekerjaan di ranah dan ruang emosi, jika guru di madrasah hanya transfer ilmu dan kalaupun emosi terlibat hanya hitungan 1 atau 2 Jam Tatap Muka, hanya kisaran 80 menit, sedangkan musyrif berbeda lebih dari itu. Sikap dan kondisi santri di kelas masih sebatas “Topeng”, belum menampakkan sifat asli mereka dan bentuk asli mereka adalah ketika mereka dipondok dan telah membersamai mereka selama 24 jam.

Tugas musyrif memang berat, Banyak pihak  yang memandang “rendah” level musyrif, padahal mereka adalah pondasi dalam membentuk karakter mereka.

Memang fitrahnya “pondasi” itu tidak terlihat dan tidak dipuji ketika bangunan sudah terbangun dan terlihat indah dan kokoh, coba perhatikan ketika ada gedung tinggi megah nan indah secara seni aristeknya, tidak akan ada yang memuji kuatnya pondasi yang menopang bangunan tinggi dan indah tersebut.

Di sisi lain, musyrif harus punya “kebanggaan” dan “percaya diri “ karena mereka punya peran sangat penting dalam “membangun pondasi” bagi santri, maka musyrif perlu “ketenangan jiwa”, tanpa “ketenangan jiwa” maka terjadi ketidak stabilan emosi. Ketenangan jiwa mencakup dari sisi ketercukupan maisyah dan konsep diri. Oleh karena itu, tugas lembaga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan musyrif agar “tenang” dalam menjalankan amanah mereka.

Tidak ada komentar:

Posting Komentar