Pola
asuh membentuk identitas santri, jika santri kelas XII aliyah ( setelah mondok
6 tahun, dan dengan usia yang sudah dewasa ) dan mereka masih dibangunkan
ketika shubuh maka ada yang perlu dievaluasi dalam hal kepengasuhan.
Tugas
utama dan akhir musyrif bukan membangunkan tapi bagaimana membuat dan
membimbing santri mampu bangun sendiri seiring berjalannya waktu.
Santri
ibarat sebutir telur yang akan dapat “menetas” jika memang “dierami” dalam hal
ini dengan cara mereka dibersamai secara fisik dan jiwa (hati) oleh musyrif sebagai
induknya.
Dalam
dunia pengasuhan, tidak dapat dipungkiri terkait kompleksitas permasalahan yang
dihadapi oleh musyrif. Terlebih apabila permasalahan makin rumit, intake
input santri rendah dan daya dukung fasilitas minim tentu akan menambah pusing
bagi diri musyrif.
Kepengasuhan
adalah pekerjaan di ranah dan ruang emosi, jika guru di madrasah hanya transfer
ilmu dan kalaupun emosi terlibat hanya hitungan 1 atau 2 Jam Tatap Muka, hanya
kisaran 80 menit, sedangkan musyrif berbeda lebih dari itu. Sikap dan kondisi
santri di kelas masih sebatas “Topeng”, belum menampakkan sifat asli mereka dan
bentuk asli mereka adalah ketika mereka dipondok dan telah membersamai mereka
selama 24 jam.
Tugas
musyrif memang berat, Banyak pihak yang
memandang “rendah” level musyrif, padahal mereka adalah pondasi dalam membentuk
karakter mereka.
Memang
fitrahnya “pondasi” itu tidak terlihat dan tidak dipuji ketika bangunan sudah
terbangun dan terlihat indah dan kokoh, coba perhatikan ketika ada gedung
tinggi megah nan indah secara seni aristeknya, tidak akan ada yang memuji
kuatnya pondasi yang menopang bangunan tinggi dan indah tersebut.
Di
sisi lain, musyrif harus punya “kebanggaan” dan “percaya diri “ karena mereka
punya peran sangat penting dalam “membangun pondasi” bagi santri, maka musyrif
perlu “ketenangan jiwa”, tanpa “ketenangan jiwa” maka terjadi ketidak stabilan
emosi. Ketenangan jiwa mencakup dari sisi ketercukupan maisyah dan konsep diri.
Oleh karena itu, tugas lembaga berkewajiban untuk memenuhi kebutuhan musyrif
agar “tenang” dalam menjalankan amanah mereka.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar