Kenangan waktu masa sekolah, adalah
kenangan yang penuh cerita, dari sekian banyak cerita tentu ada cerita yang
menginspirasi atau bahkan ada cerita yang menimbulkan luka dan duka. Namun, seiring
perjalanan waktu dan bertambah dewasa, saya meyakini satu hal bahwa cerita,
pengalaman atau perjalanan hidup yang baik atau pahit sekalipun akan selalu
mempunyai moral story, hikmah atas kejadian tersebut, selama kita mampu memberi
makna dan arti atas peristiwa tersebut. Yup, kemampuan memberi makna itu sangat
penting agar kita selalu menjadi pribadi yang terus bertumbuh secara positif.
Cerita
ini bermula, ketika saya masih belajar di kelas 1 MTs, tepatnya MTs Ma’ahid di
Kudus Jawa Tengah, sebuah lembaga pendidikan yang didirikan oleh kakek saya
pada tahun 1937. Singkat cerita, sewaktu mata pelajaran yang mengharuskan para
siswanya menghafalkan ayat al qur’an, entah karena sebab apa, waktu itu saya tidak
hafal. Hafalan saya terbata-bata, guru tersebut tidak menghukum secara fisik,
tapi memberikan pernyataan yang bagi orang lain terkesan biasa, tapi untuk saya
pribadi merupakan pernyataan yang sangat menyakitkan, beliau mengatakan : “ putune
mbah muchit kok nggak hafal “ (cucunya kakek muchit kok tidak hafal), K.H.
Abdul Muchit adalah kakek saya, pendiri lembaga Ma’ahid. Ya.. kata-kata itu
memang terdengar biasa, namun kata – kata itu membekas dan melukai hati. Kenapa
harus bawa-bawa nama kakek saya, ngapain harus membanding-bandingkan ???
Sejak
kejadian itu, sosok yang saya benci setelah iblis, ya guru “XXX” itu,
andaikan turun ayat baru dalam al qur’an yang menghapus hukum keharaman membunuh
orang, tentu orang pertama yang ingin saya bunuh, adalah guru itu. Sampai di
level itu saya membenci guru tersebut, mungkin terkesan lebay, tapi itulah yang
saya rasakan waktu masih kelas 1 MTs. Bukan hanya sekedar luka batin, tapi
berpengaruh pada sikap dan kepribadian saya, diantaranya adalah :
1.
Saya mempunyai tekad kuat, saya
harus menjadi murid yang selalu juara 1, pintar, cerdas. Jangan kasih kesempatan
para guru atau siswa lain membuly saya terkait hal akademik. Karena saya kan
cucunya pendiri lembaga ini, jadi saya harus jadi pintar, itulah yang ada dalam
pikiran dan perasaan saya.
Tiap hari selalu
baca buku, belajar, meringkas dan menghafal. Bahkan jika mendekati atau selama
hari-hari ujian ( dulu dengan sistem cawu-catur wulan) belajarnya lebih ekstra
keras, maaf- ketika buang air besar saja saya harus bawa LKS untuk dibaca-baca,
saya tidak ingin ada waktu yang terbuang sia-sia. Maaf – kalo mau cebok, LKS
nya saya taruh di gantungan tali / kawat yang ada di kamar mandi. Semangat
belajar tinggi, tapi penuh tekanan dan siksaan batin. Guru, teman, bahkan
keluarga (bapak-ibu) tidak menyadari betapa tertekannya diri ini waktu itu
untuk menjadi bintang kelas. Ya memang sih, akhirnya selama 6 tahun ( 3 tahun
di MTs dan 3 di MA) selalu juara kelas, tapi juara yang harus menanggung dan
menahan luka dan derita.
2.
Karena mempertahankan juara
kelas, saya punya belive sistem yang bisa dibilang aneh dan tidak wajar.
Pertama, saya
punya keyakinan bahwa warna merah adalah warna pembawa sial, karena jika saya
bersentuhan dengan warna merah akan mengakibatkan nilai rapor akan merah (
waktu itu jika nilai pelajaran dibawah KKM, akan ditulis dengan tinta merah ),
akibatnya setiap menyentuh warna merah ( misal pulpen, bantalan kursi,
correction pen tip x dan lainnya ) baik sengaja atau tidak sengaja, pasti saya
akan mengusap bagian tubuh yang tersentuh tadi dengan tisu atau sapu tangan.
Kedua, saya punya
keyakinan, bahwa kebodohan dapat menular melalui bersentuhan dengan orang-orang
yang bodoh. Saya masih ingat, ketika diajak bersalaman dengan teman yang secara
IQ rendah, siswa yang nakal, maka saya langsung mengusap tangan saya tadi-tanpa
sepengetahuan mereka, karena khawatir virus “bodoh” mereka menular dalam diri
saya, kalau sudah menular, pasti berdampak ke kemampuan daya ingat saya, ya
begitulah kekonyolan saya zaman sekolah dulu. Bahkan bukan hanya bersalaman,
menantap wajah atau mata teman yang bodoh juga saya hindari, ya..karena itu
tadi, virus bodoh dapat menular melalui sentuhan dan pandangan mata.
Buat rekan-rekan yang membaca, mungkin
ini belive sistem yang konyol, tidak masuk akal, tapi itulah yang saya alami 26
tahun lalu, dan selama 6 tahun harus mengalami tekanan mental, setiap mendekati
hari pembagian rapor, saya pasti sakit, karena ada tekanan mental serta
kekhwatiran jika nilai yang didapat tidak sesuai harapan. Lengkaplah sudah,
penderitaan fisik dan psikis...he..he,,
Alhamdulillah, ketika hijrah ke jakarta untuk
kuliah dan mengikuti berbagai pelatihan pengembangan diri ( ESQ, Heart Master-Quantum
Ikhlas, Rekayasa Lintas Prasangka, Pola Pertolongan Allah ) dari berbagai
pelatihan yang saya ikuti, akhirnya dapat melepas semua ganjalan yang di hati,
trauma, sakit hati sudah hilang. Benar-benar hilang, tidak ada rasa benci dan
marah sedikitpun kepada guru “XXX” yang telah melakukan bullying
secara verbal, bahkan sekarang malah jadi rekan guru dalam satu lembaga
pendidikan yang sama, tempat dimana dulu saya belajar 26 tahun yang lalu. Totally,
saya sudah mengikhlaskan masa lalu saya.
Perlu 20 tahun lebih untuk menemukan
makna atas peristiwa yang saya alami sewaktu sekolah dulu, makna yang mampu saya
ambil dan sudah menjadi inspirasi serta komitmen selama menjadi pendidik atau guru selama 12
tahun ini adalah “ jangan pernah menyakiti peserta didik terlebih lagi
perasaannya “, selama 12 tahun juga saya tidak pernah sama sekali ( dan sudah
menjadi pantangan diri ini ) membanding-bandingkan apalagi sampai ngatain
dengan kata-kata negatif ( misal siswa bodoh dan lainnya) ketika menemukan
siswa yang sulit menghafal, sukar menyerap pelajaran yang disampaikan, atau
mendapatkan nilai dibawah KKM. Saya lebih memilih untuk memberi semangat,
support ke mereka dengan mengatakan “ kalian sudah berusaha, lain kali
berusaha lebih giat lagi, dan jadilah pribadi terbaik menurut blue print yang
telah Allah anugerahkan untuk kalian, jika tidak mampu mendapat nilai maksimal,
berusahalah mencapai standar minimal untuk mapel saya ”.
Joker
( yang menjadi antithesis dalam film Batman ), menurut kebanyakan orang
dianggap sebagai simbol orang baik yang tersakiti, dan terkadang menjadi
pembenaran atas sikap pembalasan dendam, mungkin jika orang tersebut menjadi
guru, akan dendam kepada anak didiknya karena dulu dimasa sekolahnya pernah
disakiti . Dan saya lebih memilih menjadi antidote atas syndrom “joker” tadi,
bahwa saya adalah guru baik yang pernah tersakiti dan tak ingin menyakiti
karena sudah pernah merasakan pedihnya rasa sakit.
Tidak ada komentar:
Posting Komentar